Jurnalis dan jurnalistik senantiasa dibutuhkan dari
waktu ke waktu. Merekalah yang mencatat sebuah peradaban dan sejarah, mereka
turut mempengaruhi masyarakat agar berkeinginan berubah menuju kehidupan yang
lebih baik. Setiap jamannya, jurnalis selalu mendapatkan tantangan, terutama
dari penguasa. Tetapi mereka selalu eksis mempertahankan prinsip hidupnya. Para
jurnalis mencerahkan masyarakat, bahkan menjadi pahlawan bagi rakyat yang
dibelanya.
Para
jurnalis adalah orang-orang yang idealis. Mereka selalu berusaha menjadi orang
yang mau belajar dari dinamika kehidupan. Kadang para jurnalis dianggap “keras
kepala” oleh orang-orang yang tidak suka dikritik. Tetapi mereka tak pernah
takut menghadapi tantangan. Para jurnalis bukannya “keras kepala”, tetapi lebih
tepat dibilang “keras hati” karena tak akan goyah pendiriannya dalam memegang
teguh kebenaran yang diyakininya. Para jurnalis cenderung dialogis tidak egois.
Julius
Caesar yang disebut-sebut sebagai bapak jurnalistik merupakan penerus dari raja
Romawi yang sebelumnya telah banyak melakukan berbagai penyebaran informasi
yang diawali dengan “Acta Diurna”
atau papan pengumuman (mading). Dalam perkembangannya jurnalistik sangat
dibutuhkan yang sampai sekarang telah menjadi sebuah produk dari ilmu
pengetahuan bahkan di berbagai universitas merupakan fakultas yang mandiri.
Perkembangan
jurnalistik di Indonesia diawali oleh jaman Belanda. Beberapa pejuang
kemerdekaan Indonesia pun menggunakan jurnalistik sebagai alat perjuangan. Di era-era
inilah Bintang Timur, Bintang Barat, Java Bode, Medan Prijaji, dan Java Bode
terbit. Pada masa pendudukan Jepang diambil alih kekuasaan, koran-koran ini
dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit;
Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia. Kemerdekaan
Indonesia membawa berkah bagi jurnalisme. Pemerintah Indonesia menggunakan
Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi. Menjelang penyelenggaraan
Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962 inilah
Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih. Masa
kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembreidelan media massa. Kasus
Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh kentara dalam
sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan
Aliansi Jurnalis Indepen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih,
Jawa Barat. Beberapa aktivisnya
dimasukkan ke penjara. Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie
menggantikan Soeharto. Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak
lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi. Kegiatan jurnalisme diatur dengan
Undang-Undang Penyiaran dan Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan Dewan Pers. Beberapa tokoh Islam penggerak dalam
jurnalistik, diantaranya :
1.
Jamaluddin Al-Afghani lahir di As’adabad, dekat Kanar di Distrik Kabul,
Afghanistas tahun 1839 dan meninggal di Istambul tahun 1897. Tetapi penelitian
para sarjana menunjukkan bahawa ia sebenarnya lahir di kota yang bernama sama
(As’adabad) tetapi bukan di Afghanistan, melainkan di Iran. Ini menyebabkan
banyak orang, khususnya mereka di Iran lebih suka menyebut pemikir pejuang
muslim modernis itu Al-As’adabi, bukan Al-Afghani. Di Mesir Al-Afghani dapat
mempengaruhi massa intelektual dengan pikiran-pikiran barat antara lain mengenai
ide trias politika melalui terjemahan bahasa Arab yang berasal dari bahasa
Perancis yang dilakukan oleh At-Tahthawi. Ia berhasil membentuk Partai Nasional
(Al-Hizbu al-Watani) di sana dan mendengungkan Mesir untuk bangsa
Mesir, memperjuangkan pendidikan universal, kemerdekaan pers, dan memasukkan
unsur-unsur Mesir dalam bidang militer. Al-Afghani berusaha menumbangkan
penguasa Mesir Khadewi Ismail dan menggantikannya dengan putera mahkota, Tawfiq
yang ingin mengadakan pembaharuan di Mesir. Tetapi setelah Tauwfik berkuasa, ia
tidak dapat melaksanakan programnya, bahkan penguasa baru yang didukung oleh
Al-Afghani itu mengusirnya karena tekanan dari pihak Inggris, tahun
1879.Jamaluddin Al-Afghani meninggalkan Mesir menuju Paris dan mendirikan
perkumpulan Al-Urwatul Wustqa, sesuai dengan majalah yang diterbitkan
oleh kelompok itu, yang pengaruhnya tersebar di dunia sampai ke Indonesia.
Majalah ini terbit hanya 18 nomor saja selama 8 bulan dari tanggal 13 Maret
1884 – 17 Oktober 1884. Tujuan diterbitkannya majalah itu antara lain untuk
mendorong bangsa-bangsa timur dalam memperbaiki keadaan, mencapai kemenangan
dan menghilangkan rasa putus asa, mengajak berpegang pada ajaran yang telah
diwariskan oleh nenek moyangnya, dan menolak anggapan yang dituduhkan kepada
umat Islam bahwa mereka tidak akan maju bila masih berpegang pada agamanya,
menyebarkan informasi tentang peristiwa politik dan untuk memperkokoh
persahabatan di antara umat Islam. Akhirnya majalah tersebut dilarang beredar
di dunia Islam yang berada di bawah pengaruh barat. Al-Afghani menginginkan
adanya persatuan umat Islam baik yang sudah merdeka maupun masih jajahan.
Gagasannya ini terkenal dengan Pan Islamisme. Ide besar ini menghendaki
terjalinnya kerjasama antara negara-negara Islam dalam masalah keagamaan,
kerjasama antara kepala negara Islam. Kerjasama itu menuntut adanya rasa
tanggungjawab bersama dari tiap negara terhadap umat Islam dimana saja mereka
berada, dan menumbuhkan keinginan hidup bersama dalam suatu komunitas serta
mewujudkan kesejahteraan umat Islam.
2.
Mochtar Lubis
lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922. Ayahnya pegawai Binnenlands
Bestuur (BB) Pemerintah Hindia Belanda yang pada tahun 1935 pensiun sebagai
Demang Kepala Daerah Kerinci. Demang Pandapotan itu digantikan oleh ayah saya,
Demang Anwar Maharadja Soetan. Setelah tamat HIS Sungai Penuh, Mochtar masuk
sekolah ekonomi di Kayutanam pimpinan SM Latif. Seperti halnya dengan sekolah
INS pimpinan M Syafei, juga di Kayutanam, murid-muridnya diajar mengembangkan
bakat melukis, mematung, bermusik, dan sebagainya. Mochtar sebentar jadi guru
sekolah dasar di Pulau Nias, kemudian pindah ke Jakarta. Di zaman Jepang dia
bekerja sebagai anggota tim yang memonitor siaran radio sekutu di luar negeri
untuk keperluan Gunseikanbu, Kantor Pemerintah Bala Tentara Dai Nippon. Tahun
1944 dia menikah dengan Halimah, gadis Sunda yang bekerja di sekretariat
redaksi harian Asia Raja. Pada tahun 1945 dia bergabung dengan kantor berita
Antara. Menjelang penyerahan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949, dia
menjadi Pemimpin Redaksi Surat Kabar Indonesia Raya. Tatkala pertengahan tahun
1950 pecah Perang Korea, Mochtar meliput kegiatan itu sebagai koresponden
perang. Pada paruh pertama dasawarsa 1950-an pers di Jakarta dicirikan oleh
personal journalism dengan empat editor berteman dan berantem, yaitu Mochtar
Lubis (Indonesia Raya), BM Diah (Merdeka), S Tasrif (Abadi), dan Rosihan Anwar
(Pedoman). Yang paling militan di antara empat sekawan tadi ialah Mochtar
Lubis. Tahun 1957 dia dikenai tahanan rumah, kemudian dipenjarakan. Semuanya
selama sembilan tahun sampai tahun 1966. Sebagai wartawan, dia bikin berita
gempar pada berbagai afair. Pertama, afair pelecehan seksual yang dialami Ny
Yanti Sulaiman, ahli purbakala, pegawai Bagian Kebudayaan Kementerian P &
K. Bosnya tidak saja mencoba merayu Yanti, tetapi juga mengeluarkan kata-kata
seks serba "seram". Kedua, afair Hartini ketika terungkap hubungan
Presiden Soekarno dengan seorang wanita di Salatiga yang mengakibatkan Ny
Fatmawati marah dan meninggalkan istana. Ketiga, afair Roeslan Abdulgani.
Menurut pengakuan Lie Hok Thay, dia memberikan uang satu setengah juta rupiah
kepada Roeslan yang berasal dari ongkos mencetak kartu suara pemilu. Akibatnya,
Menteri Luar Negeri (Menlu) Roeslan Abdulgani yang hendak pergi menghadiri
konferensi internasional mengenai Terusan Suez mau ditahan oleh CPM tanggal 13
Agustus 1956, tetapi akhirnya urung berkat intervensi Perdana Menteri (PM) Ali
Sastroamidjojo. Setelah Indonesia Raya tidak lagi terbit, tahun 1961 Mochtar dipenjarakan
di Madiun bersama mantan PM Sutan Sjahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung,
Sultan Hamid, Soebadio Sastrosatomo, dan lain-lain. Semuanya dinilai sebagai
oposan Presiden Soekarno. Tahun 1968 Indonesia Raya terbit kembali. Mochtar
melancarkan investigasi mengenai korupsi di Pertamina yang dipimpin Letjen Dr
Ibnu Sutowo. Utang yang dibikin Ibnu Sutowo di luar negeri mencapai 2,3 miliar
dollar AS. Ia diberhentikan oleh Presiden Soeharto. Ketika terjadi peristiwa
Malari, Januari 1974, para mahasiswa mendemo PM Jepang Tanaka, Pasar Senen
dibakar, disulut oleh anak buah Kepala Opsus Ali Moertopo. Soeharto jadi
gelagapan. Ia instruksikan membredel sejumlah surat kabar, antara lain
Indonesia Raya, Pedoman, dan Abadi. Setelah bebas lagi bergerak pasca-G30S/PKI,
Mochtar banyak aktif di berbagai organisasi jurnalistik luar negeri, seperti
Press Foundation of Asia. Di dalam negeri dia mendirikan majalah sastra
Horison. Ia menjadi Direktur Yayasan Obor Indonesia yang menerbitkan buku-buku
bermutu. Selain sebagai wartawan, Mochtar juga dikenal sebagai sastrawan. Pada
mulanya dia menulis cerita pendek (cerpen) dengan menampilkan tokoh karikatural
Si Djamal. Kemudian dia menulis novel, seperti Harimau Harimau, Senja di
Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, dan Berkelana dalam Rimba. Dia memperoleh
Magsaysay Award untuk jurnalistik dan kesusastraan. Sebagai orang yang memiliki
banyak bakat, tidak heran bila Mochtar pandai melukis. Ketika ditahan di
penjara Madiun, dia menjadi perupa. Sebagai budayawan, dia aktif dalam berbagai
kegiatan di Taman Ismail Marzuki. Dia anggota Akademi Jakarta sedari semula
hingga sekarang. Tak perlu ditambahkan bahwa dalam kehidupannya dia membuktikan
berjiwa dan berperan sebagai pahlawan, seperti pahlawan kebebasan pers,
pahlawan berkreasi. Sesungguhnya dia dapat disebut 5-wan, yakni wartawan,
seniman, sastrawan, budayawan, dan pahlawan.
3.
Parni Hadi
kelahiran Madiun, Jawa Timur, 13 Agustus 1948.
Kariernya di bidang kewartawanan dimulai dari bawah sebagai jurnalis di
LKBN Antara. Keuletan dan ketekunannya dalam menjalani profesi sebagai wartawan
membawanya menjadi cukup terkenal di masyarakat, karena selain sebagai wartawan
ia juga kerap muncul di layar televisi sebagai pembawa acara dialog. Parni
dipercaya sebagai wartawan istana yang pada zamannya merupakan kelompok
wartawan elit. Karena, untuk masuk ke sana perlu kualifikasi khusus dan harus
menjalani berbagai tes yang cukup berat. Dari sinilah namanya mulai dikenal
luas bukan hanya insan pers dalam negeri tapi juga mancanegara. Berbagai organisasi
kewartawanan pun digeluti sebagai pengurus bukan hanya organisasi kewartawanan
dalam negeri (PWI) tapi juga organisasi kewartawanan Asia Pasific (OANA).
Kepiawaiannya dalam bidang manajemen selama berada dalam naungan LKBN Antara,
serta kedekatannya dengan mantan Presiden BJ Habibie telah membawa dirinya
bukan hanya bernaung dalam LKBN Antara saja, tapi bersama-sama BJ Habibie
mendirikan Harian Republika, serta menempatkannya menjadi Pemimpin Umum,
sekaligus Direktur Produksi pada PT Abdi Bangsa pada tahun 1993-1997. "Mungkin karena saya berasal dari kelangan
keluarga kurang mampu, sehingga saya merasa sering ditolong orang, dan sekarang
akan berusaha menolong orang lain," .
"Mungkin ada sebagian orang
yang kaget, kok Parni yang dikenal luas sebagai seorang wartawan yang kritis
masuk dalam organisasi kepramukaan. Padahal, saya dikenal sebagai pendiri
Dompet Dhuafa Republika, yang mengumpulkan infak dan sodaqoh yang sekarang
setiap tahun mampu mengumpulkan dana Rp 25 miliar. Saya rasa orang tidak akan kaget lagi," tambah Parni. "Apa
yang saya lakukan di pramuka, saya rasa belum sebanding dengan apa yang saya
lakukan bersama teman-teman dalam menjalankan Dompet Dhuafa Republika, yang
kini punya rumah sakit, punya sekolah standar international yang bagus sekali,"
ujarnya. Begitupun dalam lingkungan hidup, ia termasuk pendiri organisasi
wartawan yang peduli lingkungan hidup Earth Wire Services kantor berita yang
mengurusi lingkungan hidup berita-berita tengan lingkungan hidup seluruh dunia.
"Saya rasa kepedulian terhadap
sesama dan cinta lingkungan hidup itulah yang melatar belakangi kecintaanya
kepada pramuka, semua itu sejalan dengan apa yang dilakukan dalam dunia
kepramukaan." Menurutnya, pramuka merupakan wadah atau wahana
perjuangan tempat mengadu yang paling cocok bagi dirinya, tidak ada beban
politik ketika masuk ke pramuka. Bahkan, ia pernah ditawarkan oleh lima Capres
pada waktu itu untuk ikut tim sukses mereka, Parni hanya mengucapkan terima
kasih. "Saya bahkan memproyeksikan
diri saya kalau saya bisa menerapkan Dasa Darma, yaitu suci dalam pikiran,
perkataan dan perbuatan itu sangat luar biasa, karena bisa menjadi manusia yang
insan kamil. Bahkan, kalau ini dimiliki orang seluruh bangsa Indonesia,
termasuk para pimpinannya, Indonesia mudah aman," dalihnya. "Saya merasa tertantang untuk
mengaktualisasikan diri saya, melalui pramuka ini. Karena ini merupakan
tantangan besar bagi saya. Pramuka itu sendiri sebenarnya hanya dilihat sebelah
mata, karena organisasi ini duitnya tidak ada," ujarnya seraya menambahkan,
orang biasanya akan berbondong-bondong
masuk ke dalam organisasi yang banyak duitnya.
4.
Rosihan Anwar
lahir di Kubang Nan Duo, Kabupaten Solok, Sumatera Barat pada 10 Mei 1922 dan
meninggal di Jakarta pada 14 April 2011. Anak keempat
dari sepuluh bersaudara putra Anwar Maharaja Sutan, seorang demang di Padang,
Sumatera Barat, ini menyelesaikan sekolah rakyat (HIS) dan SMP (MULO) di
Padang. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya ke AMS di Yogyakarta sampai tahun
1942. Dari sana Rosihan mengikuti berbagai workshop di dalam dan di luar
negeri, termasuk di Yale University dan School of Journalism di Columbia
University, New York, Amerika Serikat. Rosihan Anwar (1922-2011) merupakan wartawan senior, juga sejarawan dan
sastrawan yang produktif. Ia telah menulis puluhan buku dan ratusan tulisan di
berbagai media utama di Indonesia dan di beberapa penerbitan asing. Bahkan
menjelang akhir hayatnya Ia masih menyiapkan memoar kehidupan cintanya dengan
sang istri yang lebih dulu meninggal dunia, dengan judul yang sudah disiapkan Belahan
Jiwa, Memoar Rosihan Anwar dengan Siti Zuraida. Rosihan memulai karier
jurnalistiknya sebagai reporter Asia Raya di masa pendudukan Jepang tahun 1943
hingga menjadi pemimpin redaksi Siasat (1947-1957) dan Pedoman (1948-1961).
Selama enam tahun, sejak 1968, ia menjabat Ketua Umum Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI). Bersama Usmar Ismail, pada 1950 ia mendirikan Perusahaan Film
Nasional (Perfini). Dalam film pertamanya, Darah dan Doa, ia sekaligus
menjadi figuran. Dilanjutkan sebagai produser film Terimalah Laguku. Sejak
akhir 1981, aktivitasnya di film adalah mempromosikan film Indonesia di luar
negeri dan tetap menjadi kritikus film sampai sekarang. Pada tahun 2007,
Rosihan Anwar dan Herawati Diah, yang ikut mendirikan Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) di Surakarta pada 1946 mendapat penghargaan 'Life Time
Achievement' atau 'Prestasi Sepanjang Hayat' dari PWI Pusat. Pada 9 Februari
2010, komunitas Hari Pers Nasional (HPN) yang terdiri atas Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI), Dewan Pers, Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), Ikatan
Juranlis Televisi Indonesia (IJTI), Serikat Grafika Pers (SGP), Persatuan Radio
Siaran Swasta Nasional (PRSSNI), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia
(PPPI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), dan Asossiasi Televisi
Lokal Indonesia (ATVLI) sepakat menganugerahi Spirit Jurnalisme bagi Rosihan
Anwar. Tulisan-tulisan Rosihan Anwar bertemakan jurnalistik, agama, sejarah,
novel, dan politik, hingga tulisan yang menyangkut kisah perjalanan serta kisah
hidup orang-orang yang pernah dikenal atau dikaguminya.. Diantaranya berjudul: India
dari Dekat (1954); Dapat Panggilan Nabi Ibrahim (1959); Islam dan
Anda (1962); novel Raja Kecil (1967); Ihwal Jurnalistik
(1974); Kisah-kisah Zaman Revolusi (1975); Profil Wartawan Indonesia
(1977); Kisah-kisah Jakarta Setelah Proklamasi (1977); Jakarta
Menjelang Clash ke-I (1978); Sukarno, Tentara, PKI : Segitiga Kekuasaan
sebelum Prahara Politik 1961-1965 (1981), Menulis Dalam Air, Sebuah
Autobiografi (1983); Musim Berganti (1985); Perkisahan Nusa
(1986); Singa dan Banteng: Sejarah Hubungan Belanda-Indonesia 1945-1950
(1997), Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia (2004), dan
masih banyak lagi. S. Tasrif, S.H menjuluki Rosihan Anwar sebagai “A footnote
of history” (sebuah catatan kaki dalam sejarah). Dimasa tuanya, setiap pagi
Rosihan berjalan 40 menit. Ia juga tidak bisa melepaskan kebiasaannya menghisap
cerutu bermerek Schimmel Penning, “Saya isap lima batang satu hari,” katanya.
“Pagi, siang, waktu minum teh di sore hari, malam dan ketika menjelang tidur”.
5.
Mohammad Natsir
dilahirkan di Alahan Panjang, Solok pada tanggal 17 Juli 1908 (anak ke-3).
Kedua orang tuanya berasal dari Maninjau, ayahnya Idris Sutan Saripado adalah
pegawai pemerintah dan pernah menjadi Asisten Demang di Bonjol. Dia kemudian
diangkat menjadi penghulu atau kepala suku Piliang dengan gelar Datuk Sinaro
Panjang di Pasar Maninjau. Nur Nahar, aktifis JIB pada tahun 1934 di Bandung
dengan enam orang anak. Pada tanggal 7 Februari 1993 Natsir meninggal dunia di
Jakarta dan dikuburkan di TPU Karet, Tanah Abang. Natsir mulanya sekolah di SD
pemerintah di Maninjau, Solok, Padang dan meneruskan di Mulo Padang, AMSA 2 di
Bandung. Walaupun ia mendapat beasiswa di perguruan tinggi, tapi ia memilih
menjadi pejuang. Pendidikan agama selain dari orang tuanya, ia masuk Madrasah
Diniyah di Solok pada sore hari dan belajar mengaji Al Qur’an pada malam hari
di surau. Pengetahuan agamanya bertambah dalam di Bandung ketika dia berguru
kepada ustadz A. Hassan, tokoh Persatuan Islam di Bandung. Natsir mendalami
Islam mengenai teologi (tauhid), ilmu fiqih (syari’ah), tafsir dan hadis,
filsafat, sejarah, kebudayaan dan politik Islam. ia juga belajar dari H. Agus
Salim, Syekh Ahmad Soorkati, HOS Cokroaminoto dan A.M. Sangaji, Mohammad Abduh
di Mesir. Pengalaman organisasinya; menjadi wakil ketua JIB pada 1929-1932 di
Bandung, ketua Partai Islam Indonesia Bandung, anggota Majlis Islam A’la
Indonesia (MIAI), anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), menteri RIS,
Ketua Umum Persatuan Islam. Dalam kabinet Syahrir I dan II (1946-1947) dan
Hatta 1948 Natsir ditunjuk sebagai Menteri Penerangan, pemimpin parta Islam
Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia). Beliau juga memimpin dan mendirikan
lembaga Pendidikan Islam (Pendis) dari TK, HIS, Mulo dan Kweekschool 1932-1942.
Karyanya seperti Panji Islam, Al Manar, Pembela Islam dan Pedoman Masyarakat.
Natsir menolak ide sekularisasi dan westernisasi ala Turki di bawah Kemal
Attaturk dan mempertahankan ide kesatuan agama dan negara. munculnya kegiatan
kedaerahan yang berpuncak pada pemberontakan daerah dan PRRI pada tahun 1958,
Natsir yang dimusuhi Sukarno bersama Sjafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin
Harahap dan melarikan diri dari Jakarta, karena itu partai Masyumi dan PSI Syahrir
dipaksa membubarkan diri oleh Sukarno. Diantara jasanya yaitu ikut membantu
pemulihan hubungan Indonesia dengan Malaysia. lembaga dakwah yang ia dirikan
sedikit membantu pendirian rumah sakit Islam dan pembangunan mesjid, dan
mengirim mahasiswa tugas belajar mendalami Islam di Timur Tengah dan menjadi
tokoh nasional yang religius seperti Amien Rais, Yusril Ihza Mahendra, dan
Nurcholis Majid. Kegiatan ini juga
membawa Natsir menjadi tokoh Islam terkenal di dunia internasional dengan
menjadi Wakil Presiden Kongres Islam se-Dunia (Muktamar Alam Islami) yang
berkedudukan di Karachi (1967)dan anggota Rabithah Alam Islami (1969) dan
anggota pendiri Dewan Masjid se Dunia (1976) yang berkedudukan di Mekkah. Di
samping bantuan para simpatisannya di dalam negeri, badan-badan dunia ini
kemudian banyak membantu gerakan amal DDII, termasuk pembangunan Rumah Sakit
Islam di beberapa tempat di Indonesia. Pada tahun 1987 Natsir menjadi anggota
Dewan Pendiri The Oxford Center for
Islamic Studies, London. Namun kebebasannya hilang kembali karena ia ikut
terlibat dalam kelompok petisi 50 yang mengeritik Suharto pada tahun 1980.
Natsir mandapat penghargaan pada tahun
1957 dari Republik Tunisia karena memperjuangkan Negara-negara Islam di Afrika
Utara, tahun 1967 bergelar Doktor HC dari Universitas Islam Libanon di bidang
politik Islam, menerima Faisal Award dari kerajaan Saudi Arabia pada tahun 1980
untuk pengabdiannya pada Islam dan Dr HC dari Universitas Sains dan Teknologi
Malaysia pada tahun 1991 dalam bidang pemikiran Islam.
6.
H. Adam Malik
yang lahir di Pematang Siantar pada tanggal 22 Juli 1917 dan meninggal di Bandung pada tanggal 5 September 1984. Beliau
mengenyam pendidikan di SD (HIS) dan Madarasah Ibtidaiyah dan pernah menjabat
sebagai Wakil Presiden RI (23 Maret 1978-1983), Ketua MPR/DPR 1977-1978, Ketua
Sidang Majelis Umum PBB ke-26, Wakil Perdana Menteri II/Menteri Luar Negeri RI
(1966-1977), Menko Pelaksana Ekonomi Terpimpin (1965), Ketua delegasi
Indonesia-Belanda (1962), Duta besar di Uni Soviet dan Polandia (1959), Anggota
DPA (1959), Anggota Parlemen (1956), Ketua III Komite Nasional Indonesia Pusat
(1945-1947), dan ProfesiWartawan (Pendiri LKBN Antara tahun 1937). Banyaknya
pengalaman yang beliau jalankan pada masa kehidupannya. Pada usianya masih
belasan tahun, ia pernah ditahan polisi Dinas Intel Politik di Sipirok 1934 dan
dihukum dua bulan penjara karena melanggar larangan berkumpul. Pada usia 20
tahun, Adam Malik bersama dengan Soemanang, Sipahutar, Armin Pane, Abdul Hakim,
dan Pandu Kartawiguna, mendirikan kantor berita Antara tahun 1937 berkantor di
JI. Pinangsia 38 Jakarta Kota. Dengan modal satu meja tulis tua, satu mesin
tulis tua, dan satu mesin roneo tua, mereka menyuplai berita ke berbagai surat
kabar nasional. Di zaman Jepang, Adam
Malik aktif bergerilya dalam gerakan pemuda memperjuangkan kemerdekaan.
Menjelang 17 Agustus 1945, bersama Sukarni, Chaerul Saleh, dan Wikana, Adam
Malik pernah menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok, memaksa
mereka memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Adam Malik memelopori
terbentuknya ASEAN tahun 1967. Tahun 1977, ia terpilih menjadi Ketua DPR/MPR.
Tiga bulan berikutnya, dalam Sidang Umum MPR Maret 1978 terpilih menjadi Wakil
Presiden Republik Indonesia yang ke-3 menggantikan Sri Sultan Hamengku Buwono
IX yang secara tiba-tiba menyatakan tidak bersedia dicalonkan lagi. Sepatah
kata beliau; “Siapapun Anda, Jika rajin
membaca berbagai buku yang memperkaya pengetahuan dan wawasan, dapat berubah
menjadi ORANG BESAR!”.
7.
Mohamad Jusuf Ronodipuro yang lahir di Salatiga pada tanggal 30 September 1919
dan meninggal di Jakarta pada tanggal 27 Januari 2008. Beliau merupakan pendiri
RRI pada masa revolusi. Orang yang pertama kali membacakan naskah Proklamasi pada
tanggal 17 Agustus 1945 di Radio. Dia pula yang merekam suara Bung Karno saat
membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan RI tersebut yang menjadikan rekaman itu
sebagai satu-satunya dokumen audio otentik pembacaan proklamasi. Dia adalah
pemekik awal semboyan kebanggaan setiap penyiar RRI untuk “sekali di udara tetap di udara”. Dia juga menjadi sumber inspirasi
penciptaan lagu “Berkibarlah Benderaku”
berdasar peristiwa pada malam 21 Juli 1945. Dirut RRI Parni Hadi mengemukakan
akan mengabadikan nama Jusuf menjadi salah satu nama ruang di kantornya karena
jasa Jusuf kepada negara. "Pak Jusuf
dulu sembunyi-sembunyi mengabarkan naskah proklamasi yang pagi harinya
dibacakan Pak Karno di kantor radio yang telah diduduki Jepang,"
katanya. Karena keberaniannya itu, lanjut Parni, Jusuf dianiaya tentara Jepang yang
menjaga stasiun radio tersebut. Sepatah kata beliau “Kalau memang bendera harus turun, maka dia akan turun bersama bangkai
saya!”.
8.
Inke Maris
yang lahir di Bogor pada tanggal 7 Desember 1950 pernah mengenyam pendidikan di
British General Certificate of Education, Commerce-Cambridge University,
Proficiency in English-M.A. Program, Centre
for Mass Communication Research, University of Leicester, Inggris. Beberapa
karirnya, diantaranya; Reporter, Penyiar, Produser Radio BBC London, Seksi
Indonesia (1969-1981), Koresponden Sinar Harapan (1976-1982), Reporter,
Penyiar, Produser TVRI (1982-2001), Public
Relation Manager World Trade Centre, Jakarta (1984-1986), Penterjemah
Kantor Istana Presiden, (1979-1987), Staf Ahli Bidang Komunikasi Menko
Perekonomian (2000-2001), Mendirikan dan Memimpin Inke Maris & Associates
(1987-sekarang). Ia dikenal luas sebagai reporter, penyiar dan produser radio
BBC London Seksi Indonesia (1969-1982) serta penyiar, reporter dan produser
TVRI (1982-2001). Di TVRI dia mempunyai spesialisasi melakukan wawancara dengan
tokoh-tokoh terkemuka berkaliber dunia dan nasional. Bagi Inke, wawancara
mempunyai satu tujuan utama, mewakili kepentingan masyarakat banyak untuk
memperoleh informasi yang relevan bagi kehidupan masyarakat. Inke berpendapat
seorang pewawancara atau penyiar mempunyai kewajiban untuk meningkatkan
pengetahuan umum tentang berbagai masalah yang menyangkut hajat hidup orang
banyak, dan hal itu merupakan suatu public
service yang harus ditekuni dengan penuh tanggungjawab. Inke melihat
Indonesia harus dijaga agar masyarakat melihat dirinya dari kacamata sendiri,
tidak dari kacamata Amerika atau Inggris, ataupun negara lain. Karena kenyataan
di dunia komunikasi dikuasai Inggris dengan Reuters-nya
lalu Amerika dengan AP-nya (Associate
Press), sudah berdiri tahun 1890-an, mempunyai sekaligus menguasai jaringan
informasi di seluruh dunia. Sepatah kata Inke; “Seorang reporter harus memiliki sikap total professionalism; cara
pendekatan ketika melobi untuk memperoleh waktu wawancara, dalam membahas
substansi yang akan dibicarakan, dan ketika melaksanakan wawancara, harus
bersikap obyektif. Mendalami latar belakang permasalahan, memelajari latar
belakang tokoh yang akan diwawancarai, karirnya, pandangan-pandangannya, akan
memberikan pewawancara ‘senjata’ yang ampuh”.
9.
Goenawan Susatyo Mohamad yang lahir di Karangasem Batang Jawa Tengah pada
tanggal 29 Juli 1941 dan pernah mengenyam pendidikan di SR Negeri Parakan
Batang (1953), SMP Negeri II Pekalongan (1956), SMA Negeri Pekalongan (1959),
Fakultas Psikologi UI Jakarta (tidak selesai). Beliau pernah mendaptkan penghargaan
Internasional dalam Kebebasan Pers (International
Press Freedom Award) oleh Komite Pelindung Jurnalis (Committee to Protect Journalists) pada tahun 1998, Internasional
Editor (International Editor of the
Year Award) dari World Press Review
Amerika Serikat (Mei 1999), Louis Lyons
dari Harvard University Amerika Serikat (1997), Penghargaan Professor Teeuw
dari Leiden University Belanda (1992). Beliau juga merupakan Redaktur Harian
KAMI (1969-1970), Redaktur Majalah Horison (1969-1974), Pemimpin Redaksi
Majalah Ekspres (1970-1971), Pemimpin Redaksi Majalah Swasembada (1985),
Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO (1971-sekarang). Tanpa lelah, ia memperjuangkan
kebebasan berbicara dan berpikir melalui berbagai tulisan dan organisasi yang
didirikan-nya. Tulisannya banyak mengangkat tema HAM, agama, demokrasi,
korupsi, dan sebagainya. Seminggu sekali menulis kolom "Catatan
Pinggir" di Majalah Tempo. Masa mudanya lebih dikenal sebagai seorang
penyair. Bersama Taufik Ismail, Ia ikut menandatangani manifesto
kebudayaan yang mengakibatkannya dilarang menulis di berbagai media umum. Ia
menulis sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi
penyair wanita Amerika, Emily Dickinson. Sejak di kelas VI SD, ia mengaku
menyenangi acara puisi siaran RRI pada 1971, Ia bersama rekan-rekannya
mendirikan Majalah Mingguan Tempo, sebuah majalah yang mengusung karakter
jurnalisme majalah Time. Di sana ia banyak menulis kolom tentang agenda-agenda
politik di Indonesia. Jiwa kritisnya membawanya untuk mengkritik rezim Soeharto
yang pada waktu itu menekan pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Tempo dianggap
sebagai oposisi yang merugikan kepentingan pemerintah sehingga dihentikan
penerbitannya pada 1994. Sepatah kata beliau; “Pena lebih tajam daripada senjata”.
10. Andy Flores
Noya yang lahir di Surabaya Jawa
Timur pada tanggal 6 November 1960 pernah mengenyam pendidikan STM 6 Jakarta, Sekolah
Tinggi Publisistik di Lenteng Agung adalah wartawan dan presenter televise Indonesia.
Selama ini, Ia lebih dikenal sebagai wartawan cetak. Lebih dari lima belas
tahun dia bergumul dengan dunia jurnalistik untuk media cetak. Pertama kali
terjun sebagai reporter ketika pada 1985 Andy membantu Majalah Tempo untuk
penerbitan buku “Apa dan Siapa Orang
Indonesia”. Saat itu pemuda berdarah Ambon, Jawa, dan Belanda ini masih
kuliah di Sekolah Tinggi Publisitik (STP) di Jakarta. Pada saat harian ekonomi
Bisnis Indonesia hendak terbit (1985), Andy diajak bergabung oleh Lukman
Setiawan, pimpinan di Grafitipers, salah satu anak usaha Tempo. Maka Andy
tercatat sebagai 19 reporter pertama di harian itu. Baru dua tahun di Bisnis
Indonesia, Andy diajak oleh Fikri Jufri wartawan senior Tempo untuk memperkuat
majalah Matra yang baru diterbitkan oleh Tempo. Andy tertarik lalu bergabung. Matra
agaknya bukan pelabuhan terakhirnya. Pada 1992 datang tawaran dari Surya Paloh,
pemilik surat kabar Prioritas yang waktu itu dibreidel, untuk bergabung dengan
koran Media Indonesia yang mereka kelola. Maka sejak itulah Andy kembali ke
surat kabar. Kini sebagai host acara Kick Andy di MetroTV. Sepatah kata
Andy; “Sejak kecil saya merasa jatuh cinta pada dunia tulis menulis. Kemampuan
menggambar kartun dan karikatur semakin membuat saya memilih dunia tulis menulis
sebagai jalan hidup saya”.
[Berbagai sumber : disadur ulang dari tugas perkuliahan].